Wacana untuk menghentikan kegiatan belajar mengajar selama sebulan saat puasa 2025 telah mencuat belakangan ini. Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar yang mengungkapkan hal tersebut. Sebelumnya, Nasaruddin menyatakan bahwa pondok pesantren akan libur selama bulan Ramadan. Namun, kemungkinan kebijakan serupa akan diterapkan untuk sekolah negeri maupun swasta di bawah Kementerian Agama.
“Di pondok pesantren memang akan libur. Namun, untuk sekolah lain masih dalam tahap pembahasan. Tunggu saja informasi lebih lanjut,” ujar Nasaruddin seperti dilansir dari detiknews, Selasa (31/12/2024). Wacana ini menuai berbagai tanggapan, termasuk dari pakar pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Achmad Hidayatullah.
Dayat, panggilan akrabnya, menyarankan agar pemerintah tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan terkait libur atau tidaknya. Ia juga mempertanyakan apakah kebijakan libur selama bulan puasa ini didasarkan pada kebutuhan masyarakat atau tidak.
“Jika kebijakan ini diambil dengan asumsi bahwa fokus, produktivitas, dan motivasi akan menurun selama bulan puasa, tentu kebijakan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat,” ujar Dayat seperti dilansir dari laman UM Surabaya Rabu (1/1/2024). Menurut Dayat, pemerintah seakan-akan memisahkan antara ibadah dan pendidikan, padahal seharusnya keduanya dapat bersatu.
Dayat berpendapat bahwa pendidikan seharusnya mendorong kesatuan antara agama dan ilmu pengetahuan. Menurutnya, penguatan nilai-nilai keagamaan tanpa harus meliburkan sekolah akan lebih baik. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa masuk sekolah selama bulan Ramadan dapat menurunkan motivasi siswa untuk belajar agama.
Kebijakan libur penuh selama bulan puasa dapat membuat lingkungan pendidikan menjadi pasif dan tidak memberikan stimulus yang cukup bagi siswa. Hal ini bahkan dapat melemahkan kepercayaan diri siswa terhadap kemampuan mereka untuk belajar dan produktif selama bulan puasa. Dayat juga menyoroti bahwa jika sekolah libur penuh, siswa cenderung lebih banyak bermain hp, yang dapat menciptakan perasaan cemas dan kesendirian menurut studi empiris.
Dalam hal ini, Dayat menekankan pentingnya untuk mempertimbangkan dengan matang dampak dari kebijakan liburan selama bulan puasa. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga membentuk karakter dan nilai-nilai agama yang kuat pada setiap siswa.
Dengan demikian, Dayat berharap agar pemerintah dapat mengambil kebijakan yang bijaksana dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang sebelum membuat keputusan terkait libur selama bulan puasa. Sebagai pakar pendidikan, ia berkomitmen untuk terus memberikan masukan dan saran yang konstruktif demi kemajuan pendidikan di Indonesia.