Dalam dunia pendidikan Indonesia, perbincangan seputar Ujian Nasional (UN) telah menimbulkan debat yang rumit. Melihat hal ini dari sudut pandang Jurgen Habermas memberikan perspektif baru tentang bagaimana keputusan seharusnya diambil. Habermas (1992), dengan konsep ruang publik, menyatakan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum harus melalui proses deliberatif yang rasional dan inklusif, bukan ditentukan sepihak oleh otoritas. Ruang publik adalah tempat di mana masyarakat bisa terbuka berdiskusi tentang isu-isu yang mempengaruhi mereka. Dalam konteks UN, ruang publik seharusnya menjadi tempat bagi semua pihak yang terlibat—pemerintah, guru, siswa, orangtua, dan ahli pendidikan—untuk saling berbagi pandangan dan mencari solusi bersama. Keputusan untuk mengembalikan atau menghapus UN tidak hanya soal teknis, tapi juga nilai-nilai pendidikan yang ingin kita tanamkan di era Society 5.0.
Di Indonesia, ruang publik sering kali terpecah belah. Diskusi tentang UN masih didominasi oleh pemerintah dan elite pendidikan, sementara suara siswa dan guru, yang langsung merasakan dampak kebijakan ini, sering kali terpinggirkan. Menurut Habermas, hal ini menunjukkan ketidakseimbangan akses terhadap ruang publik yang ideal. Padahal, diskusi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari semua pihak. Apakah kita membuka atau menutup ruang publik?
UN, dalam pemikiran Habermas, bisa dianggap sebagai bagian dari “sistem”, yaitu alat administratif yang dibuat untuk menyederhanakan kompleksitas pendidikan. Namun, jika sistem ini tidak diperiksa, bisa menutup jalur komunikasi dan diskusi. Standarisasi yang diusung UN sering kali melupakan konteks lokal dan kebutuhan beragam siswa. Sistem ini cenderung mengabaikan pembicaraan tentang bagaimana pendidikan seharusnya membentuk individu yang adaptif, inovatif, dan berkarakter. Di era Society 5.0, pendidikan tidak bisa lagi hanya fokus pada hasil akademis yang sama rata. Era ini menuntut keterampilan seperti kreativitas, berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi (4C). Evaluasi pendidikan harus berubah. Jika UN dipaksakan tanpa reformasi, justru akan menutup jalan bagi pembelajaran holistik dan mengembalikan pendidikan ke cara lama.
Habermas meyakini bahwa kebijakan publik yang ideal harus muncul dari konsensus yang dibangun melalui komunikasi yang rasional. Dalam hal ini, keputusan untuk mengembalikan UN seharusnya didiskusikan secara terbuka dengan mempertimbangkan berbagai argumen dan bukti. Misalnya, pemerintah bisa menyajikan data tentang manfaat UN dalam meningkatkan standar pendidikan. Sementara guru dan ahli pendidikan bisa memberikan masukan tentang kelemahan UN dalam mengakomodasi keterampilan abad ke-21.
Diskusi semacam ini tidak hanya mencari solusi yang efisien, tapi juga membangun legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Sayangnya, diskusi publik di Indonesia sering terhambat oleh dominasi kekuasaan dan minimnya akses informasi. Perdebatan tentang UN harus melampaui sekadar perdebatan teknokratis; ia harus menjadi wadah refleksi bersama tentang arah pendidikan kita.